Tafsir Surat An Nahl ayat 125

TAFSIR SURAT AN-NAHL 125

1.Teks Surat An Nahl Ayat 125
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَArtinya:
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik serta bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”

2. Asbab An-Nuzul Surat An Nahl ayat 125
Para mufasir berbeda pendapat seputar sabab an-nuzul (latar belakang turunnya) ayat ini. Al-Wahidi menerangkan bahwa ayat ini turun setelah Rasulullah SAW. menyaksikan jenazah 70 sahabat yang syahid dalam Perang Uhud, termasuk Hamzah, paman Rasulullah. Al-Qurthubi menyatakan bahwa ayat ini turun di Makkah ketika adanya perintah kepada Rasulullah SAW, untuk melakukan gencatan senjata (muhadanah) dengan pihak Quraisy. Akan tetapi, Ibn Katsir tidak menjelaskan adanya riwayat yang menjadi sebab turunnya ayat tersebut.
Meskipun demikian, ayat ini tetap berlaku umum untuk sasaran dakwah siapa saja, Muslim ataupun kafir, dan tidak hanya berlaku khusus sesuai dengan sabab an- nuzul-nya (andaikata ada sabab an-nuzul-nya). Sebab, ungkapan yang ada memberikan pengertian umum. Ini berdasarkan kaidah ushul:
أَنَّ الْعِبْرَةَ لِعُمُومِ اللَّفْظِ لَا بِخُصُوصِ السَّبَبِ
Artinya:
“Yang menjadi patokan adalah keumuman ungkapan, bukan kekhususan sebab”
Setelah kata ud‘u (serulah) tidak disebutkan siapa obyek (maf‘ûl bih)-nya. Ini adalah uslub (gaya pengungkapan) bahasa Arab yang memberikan pengertian umum (li at-ta’mîm).
Dari segi siapa yang berdakwah, ayat ini juga berlaku umum. Meski ayat ini adalah perintah Allah kepada Rasulullah, perintah ini juga berlaku untuk umat Islam. Sebagaimana kaidah dalam ushul fikih :
خطاب الرسول خظاب لامته مالم يرد دليل التحصيص
Artinya:
“Perintah Allah kepada Rasulullah, perintah ini juga berlaku untuk umat Islam, selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya.”

3. Beberapa Pendapat Ahli Tafsir
a. Tafsir Al-Jalaalayn
{ ادع } الناس يا محمد صلى الله عليه وسلم { إلى سَبِيلِ رَبّكَ } دينه { بالحكمة } بالقرآن { والموعظة الحسنة } مواعظة أو القول الرقيق { وجادلهم بالتى } أي المجادلة التي { هِىَ أَحْسَنُ } كالدعاء إلى الله بآياته والدعاء إلى حججه { إِنَّ رَّبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ } أي عالم { بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بالمهتدين } فيجازيهم ،
وهذا قبل الأمر بالقتال . ونزل لما قتل حمزة
Artinya:
“Serulah (manusia, wahai Muhammad) ke jalan Rabb-mu (agama-Nya) dengan hikmah (dengan al-Quran) dan nasihat yang baik (nasihat-nasihat atau perkataan yang halus) dan debatlah mereka dengan debat terbaik (debat yang terbaik seperti menyeru manusia kepada Allah dengan ayat-ayat-Nya dan menyeru manusia kepada hujah). Sesungguhnya Rabb-mu, Dialah Yang Mahatahu, yakni Mahatahu tentang siapa yang sesat dari jalan-Nya, dan Dia Mahatahu atas orang-orang yang mendapatkan petunjuk. Maka Allah membalas mereka. Hal ini terjadi sebelum ada perintah berperang. Ketika Hamzah dibunuh (dicincang dan meninggal dunia pada Perang Uhud)”

b. Tafsir al-Qurthuby
هذه الآية نزلت بمكة في وقت الامر بمهادنة قريش، وأمره أن يدعو إلى دين الله وشرعه بتلطف ولين دون مخاشنة وتعنيف، وهكذا ينبغى أن يوعظ المسلمون إلى يوم القيامة. فهى محكمة في جهة العصاة من الموحدين، ومنسوخة بالقتال في حق الكافرين. وقد قيل: إن من أمكنت معه هذه الاحوال من الكفار ورجى إيمانه بها دون قتال فهى فيه محكمة. والله أعلم.
Artinya:
“(Ayat ini diturunkan di Makkah saat Nabi SAW. diperintahkan untuk bersikap damai kepada kaum Quraisy. Beliau diperintahkan untuk menyeru pada agama Allah dengan lembut (talathuf), layyin, tidak bersikap kasar (mukhasanah), dan tidak menggunakan kekerasan (ta’nif). Demikian pula kaum Muslim; hingga Hari Kiamat dinasihatkan dengan hal tersebut. Ayat ini bersifat muhkam dalam kaitannya dengan orang-orang durhaka dan telah di-mansûkh oleh ayat perang berkaitan dengan kaum kafir. Ada pula yang mengatakan bahwa bila terhadap orang kafir dapat dilakukan cara tersebut, serta terdapat harapan mereka untuk beriman tanpa peperangan, maka ayat tersebut dalam keadaan demikian bersifat muhkam. Wallâhu a’lam.)”

c. Tafsir At-Thabary
( ادْعُ ) يا محمد من أرسلك إليه ربك بالدعاء إلى طاعته( إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ ) يقول: إلى شريعة ربك التي شرعها لخلقه، وهو الإسلام( بِالْحِكْمَةِ ) يقول بوحي الله الذي يوحيه إليك وكتابه الذي ينزله عليك( وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ) يقول: وبالعبرة الجميلة التي جعلها الله حجة عليهم في كتابه ، وذكّرهم بها في تنزيله، كالتي عدّد عليهم في هذه السورة من حججه ، وذكّرهم فيها ما ذكرهم من آلائه( وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ) يقول: وخاصمهم بالخصومة التي هي أحسن من غيرها أن تصفح عما نالوا به عرضك من الأذى، ولا تعصه في القيام بالواجب عليك من تبليغهم رسالة ربك.

Artinya:
“Serulah (Wahai Muhammad, orang yang engkau diutus Rabb-mu kepada nya dengan seruan untuk taat ke jalan Rabb-mu, yakni ke jalan Tuhanmu yang telah Dia syariatkan bagi makhluk-Nya yakni Islam, dengan hikmah (yakni dengan wahyu Allah yang telah diwahyukan kepadamu dan kitab-Nya yang telah Dia turunkan kepadamu) dan dengan nasihat yang baik (al-mau’izhah al-hasanah, yakni dengan peringatan/pelajaran yang indah, yang Allah jadikan hujah atas mereka di dalam kitab-Nya dan Allah telah mengingatkan mereka dengan hujah tersebut tentang apa yang diturunkan-Nya. Sebagaimana yang banyak tersebar dalam surat ini, dan Allah mengingatkan mereka (dalam ayat dan surat tersebut) tentang berbagai kenikmatan-Nya). Serta debatlah mereka dengan cara baik (yakni bantahlah mereka dengan bantahan yang terbaik), dari selain bantahan itu engkau berpaling dari siksaan yang mereka berikan kepadamu sebagai respon mereka terhadap apa yang engkau sampaikan. Janganlah engkau mendurhakai-Nya dengan tidak menyampaikan risalah Rabb-mu yang diwajibkan kepadamu.)


d. Tafsir al-Qurân il-‘Azhîm
يقول تعالى امرا رسوله محمدا صلى الله عليه وسلم ان يدعو الخلق بالحكمة.قال ابن جرير:وهوما انزله عليه من الكتاب والسنة.{والموعظة الحسنة} اي : بما فيه من الزواجر والوقاءع
بالناس دكرهم بها ليحذروا باء س الله تعلى. { وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ } أي: من احتاج منهم إلى مناظرة وجدال، فليكن بالوجه الحسن برفق ولين وحسن خطاب، كما قال: { وَلا تُجَادِلُوا أَهْلَ الْكِتَابِ إِلا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِلا الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْهُمْ } [العنكبوت:46] . فأمره تعالى بلين الجانب، كما أمر موسى وهارون، عليهما السلام، حين بعثهما إلى فرعون فقال: { فَقُولا
لَه قَوْلا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى } [طه :44]
وقوله: إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِين.َ أي: قد علم الشقي منهم والسعيد، وكتب ذلك عنده وفرغ منه، فادعهم إلى الله، ولا تذهب نفسك على من ضل منهم حسرات، فإنه ليس عليك هداهم إنما أنت نذير، عليك
البلاغ، وعلينا الحساب
Artinya:
“(Allah, Zat Yang Mahatinggi, berfirman dengan memerintahkan Rasul-Nya, Muhammad SAW., untuk menyeru segenap makhluk kepada Allah dengan hikmah. Ibn Jarir menyatakan, bahwa maksud dari hal tersebut adalah apa saja yang diturunkan kepadanya baik al-Quran, as-Sunnah. Dan nasihat yang baik, artinya dengan apa saja yang dikandungnya berupa peringatan (zawâjir) dan realitas-realitas manusia. Memperingatkan mereka dengannya supaya mereka waspada terhadap murka Allah SWT. Debatlah mereka dengan debat terbaik’ artinya barang siapa di antara mereka yang berhujah hingga berdebat dan berbantahan maka lakukanlah hal tersebut dengan cara yang baik, berteman, lembut, dan perkataan yang baik. Hal ini seperti firman Allah SWT. dalam surat al-‘Ankabut (29): 46 (yang artinya): Janganlah kalian berdebat dengan Ahli Kitab melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka. Dia memerintahkannya untuk bersikap lembut seperti halnya Dia memerintahkan hal tersebut kepada Musa a.s. dan Harun a.s. ketika keduanya diutus menghadap Fir’aun seperti disebut dalam surat Thaha (20) ayat 44 (yang artinya): Katakanlah oleh kalian berdua kepadanya perkataan lembut semoga dia mendapat peringatan atau takut. Firman-Nya “Sesungguhnya Rabb-mu Dialah Maha Mengetahui terhadap siapa yang sesat dari jalan-Nya” artinya Sungguh Dia telah mengetahui orang yang celaka dan bahagia di antara mereka. Dan Allah telah menuliskan dan menuntaskan hal itu disisinya. Oleh karena itu, serulah mereka kepada Allah, dan janganlah engkau merasa rugi atas mereka yang sesat, sebab bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapatkan petunjuk, engkau semata-mata pemberi peringatan, engkau wajib menyampaikan dan Kami yang wajib menghisabnya.)”

4. Analisis Tafsir An Nahl ayat 125
a. Makna Hikmah
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia hikmah diartikan sebagai kebijaksanaan, kesaktian dan makna yang dalam. Secara bahasa al-hikmah berarti ketepatan dalam ucapan dan amal. Menurut ar-Raghib, al-hikmah berarti mengetahui perkara-perkara yang ada dan mengerjakan hal-hal yang baik. Menurut Mujahid, al-hikmah adalah pemahaman, akal, dan kebenaran dalam ucapan selain kenabian. At-Thabary mengatakan bahwa Hikmah dari Allah SWT bisa berarti benar dalam keyakinan dan pandai dalam din dan akal.
Adapun Abdul Aziz bin Baz bin Abdullah bin Baz berdasarkan penelitiannya menyimpulkan bahwa hikmah mengandung arti sebagai berikut:
والمراد بها: الأدلة المقنعة الواضحة الكاشفة للحق، والداحضة للباطل؛ ولهذا قال بعض المفسرين: المعنى: بالقرآن؛ لأنه الحكمة العظيمة؛ لأن فيه البيان والإيضاح للحق بأكمل وجه، وقال بعضهم: معناه: بالأدلة من الكتاب والسنة.
Artinya:
“Dan yang dimaksud dengan hikmah adalah: petunjuk yang memuaskan, jelas, serta menemukan (mengungkapkan) kebenaran, dan membantah kebatilan. Oleh karena itu, telah berkata sebagian mufassir bahwa makna hikmah adalah Al-Qur’an, karena sesungguhnya Al-Qur’an adalah hikmah yang agung. Karena sesungguhnya di dalam Al Qur’an ada keterangan dan penjelasan tentang kebenaran dengan wajah yang sempurna (proporsional). Dan telah berkata sebagian yang lain bahwa makna hikmah adalah dengan petunjuk dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.”

Pernyataan Abdul Aziz Bin Baz tersebut sejalan dengan pendapat sebagian mufasir terdahulu seperti As-Suyuthi, dan Al-Baghawi, As-Samarkandy yang mengartikan hikmah sebagai al-Quran. Dan Ibnu Katsir yang menafsirkan hikmah sebagai apa saja yang diturunkan Allah berupa al-Kitab dan As-Sunnah.
Penafsiran tersebut tampaknya masih global. Mufasir lainnya lalu menafsirkan hikmah secara lebih rinci, yakni sebagai hujjah atau dalil. Sebagian mensyaratkan hujjah itu harus bersifat qath‘i (pasti), seperti an-Nawawi al-Jawi. Yang lainnya, seperti al-Baidhawi, tidak mengharuskan sifat qath‘i, tetapi menjelaskan karakter dalil itu, yakni kejelasan yang menghilangkan kesamaran . An-Nawawi al-Jawi menafsirkan hikmah sebagai hujjah yang qath‘i yang menghasilkan akidah yang meyakinkan . An-Nisaburi menafsirkan hikmah sebagai hujjah yang qath‘i yang dapat menghasilkan keyakinan . Al-Baidhawi dan Al-Khazin mengartikan hikmah dengan ucapan yang tepat (al-maqâlah al-muhkamah), yaitu dalil yang menjelaskan kebenaran dan menyingkirkan kesamaran (ad-dalil al-muwadhdhih li al-haq wa alimuzîh li asy-syubhah) . Al-Asyqar menafsirkan hikmah dengan ucapan yang tepat dan benar (al-maqâlah al-muhakkamah ash-shahîhah).
Kesimpulannya, jumhur mufasir menafsirkan kata hikmah dengan hujjah atau dalil. Dari ungkapan para mufasir di atas juga dapat dimengerti, bahwa hujjah yang dimaksud adalah hujjah yang bersifat rasional (‘aqliyyah/fikriyyah), yakni hujjah yang tertuju pada akal. Sebab, para mufasir seperti al-Baidhawi, al-Alusi, an-Nisaburi, al-Khazin, dan an-Nawawi al-Jawi mengaitkan seruan dengan hikmah ini kepada sasarannya yang spesifik, yakni golongan yang mempunyai kemampuan berpikir sempurna.
Al-burhân al-‘aqlî (argumentasi logis) yang di maksud adalah argumentasi yang masuk akal, yang tidak dapat dibantah, dan yang memuaskan. Yang dapat mempengaruhi pikiran dan perasaan siapa saja. Sebab, manusia tidak dapat menutupi akalnya di hadapan argumentasi-argumentasi yang pasti serta pemikiran yang kuat. Argumentasi logis mampu membongkar rekayasa kebatilan, menerangi wajah kebenaran, dan menjadi api yang mampu membakar kebobrokan sekaligus menjadi cahaya yang dapat menyinari kebenaran.
Hikmah, memang, kadangkala berarti menempatkan persoalan pada tempatnya; kadangkala juga berarti hujjah atau argumentasi. Dalam ayat ini, tidak mungkin ditafsirkan dengan makna menempatkan persoalan pada tempatnya. Makna hikmah dalam ayat ini adalah hujah dan argumentasi
Dakwah atau pengajaran dengan cara hikmah, umumnya diberikan oleh seseorang untuk menjelaskan sesuatu kepada pendengarnya yang ikhlas untuk mencari kebenaran. Hanya saja, ia tidak dapat mengikuti kebenaran kecuali bila akalnya puas dan hatinya tenteram.
2. Makna Mau‘izhah Al-hasanah.
Sebagian mufasir menafsirkan mau’izhah hasanah (nasihat/peringatan yang baik) secara global, yaitu nasihat atau peringatan al-Quran (mau’izhah al-Qur’an). Demikian pendapat al-Fairuzabadi, as-Suyuthi, dan al-Baghawi. Namun, as-Suyuthi dan al-Baghawi sedikit menambahkan, dapat juga maknanya perkataan yang lembut (al-qawl ar-raqîq).
Merinci tafsiran global tersebut, para mufasir menjelaskan sifat mau’izhah hasanah sebagai suatu nasihat yang tertuju pada hati (perasaan), tanpa meninggalkan karakter nasihat itu yang tertuju pada akal. Sayyid Quthub menafsirkan mau’izhah hasanah sebagai nasihat yang masuk ke dalam hati dengan lembut (tadkhulu il¬â al-qulûb bi rifq). An-Nisaburi menafsirkan mau’izhah hasanah sebagai dalil-dalil yang memuaskan (ad-dalâ’il al-iqna’iyyah), yang tersusun untuk mewujudkan pembenaran (tashdîq) berdasarkan premis-premis yang yang telah diterima. Al-Baidhawi dan Al-Alusi menafsirkan mau’izhah hasanah sebagai seruan-seruan yang memuaskan/meyakinkan (al-khithâbât al-muqni‘ah) dan ungkapan-ungkapan yang bermanfaat (al-‘ibâr al-nâafi‘ah). An-Nawawi al-Jawi menafsirkannya sebagai tanda-tanda yang bersifat zhanni (al-amârât azh-zhanniyah) dan dalil-dalil yang memuaskan. Al-Khazin menafsirkan mau’izhah hasanah dengan targhîb (memberi dorongan untuk menjalankan ketaatan) dan tarhîb (memberikan ancaman/peringatan agar meninggalkan kemaksiatan).
Dari berbagai tafsir itu, karakter nasihat yang tergolong mau’izhah hasanah ada dua: Pertama, menggunakan ungkapan yang tertuju pada akal. Ini terbukti dengan ungkapan yang digunakan para mufasir, seperti an-Nisaburi, al-Baidhawi, dan al-Alusi, yakni kata dalâ’il (bukti-bukti), muqaddimah (premis), dan khithâb (seruan). Semua ini jelas berkaitan dengan fungsi akal untuk memahami. Kedua, menggunakan ungkapan yang tertuju pada hati/perasaan. Terbukti, para mufasir menyifati dalil itu dengan aspek kepuasan hati atau keyakinan. An-Nisaburi, misalnya, mengunakan kata dalâ’il iqnâ‘iyyah (dalil yang menimbulkan kepuasan). Al-Baidhawi dan al-Alusi menggunakan ungkapan al-khithâbât al-muqni‘ah (ungkapan-ungkapan yang memuaskan). Adanya kepuasan dan keyakinan (iqnâ‘) jelas tidak akan terwujud tanpa proses pembenaran dan kecondongan hati. Semua ini jelas berkaitan dengan fungsi hati untuk meyakini atau puas terhadap sesuatu dalil. Di antara upaya untuk menyentuh perasaan adalah menyampaikan targhîb dan tarhîb, sebagaimana ditunjukkan oleh Al-Khazin.
Al-Quran telah mempraktikkan hal tersebut, pada saat ia menyeru pemikiran ia pun mempengaruhi perasaan manusia. Oleh karena itu di dalam proses pengajaran dan pendidikan hendaklah mengandung unsur-unsur tersebut. Adapun mau’izhah al hasanah atau nasihat yang baik, umumnya dengan cara memberikan berita gembira dan berita peringatan dari Allah Pencipta alam. Misalnya firman Allah SWT.dalam Surat Al-A’raf ayat 179:
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آَذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا أُولَئِكَ
كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ
Artinya:
“Sesungguhnya Kami telah menjadikan isi neraka Jahanam itu kebanyakan dari jin dan manusia. Mereka mempunyai pikiran tetapi tidak dipergunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah). Mereka mempunyai mata tetapi tidak dipergunakan untuk memperhatikan (ayat-ayat Allah). Mereka juga mempunyai telinga tetapi tidak dipergunakan untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.”.

Seruan dengan mau‘izhah hasanah ini tertuju pada orang-orang yang kemampuan berpikirnya tidak secanggih golongan yang diseru dengan hikmah, tetapi masih mempunyai fitrah yang lurus. Demikian menurut al-Baidhawi, al-Alusi, an-Nisaburi, al-Khazin, dan an-Nawawi al-Jawi.

3. Makna Jidal Billati Hiya Ahsan.
A .Debat Syar’i
Debat (al-jidal) identik dengan dialog/diskusi (at-tahâwur). Allah SWT. berfirman dalam surat Al Mujadalah ayat 1::
قَدْ سَمِعَ اللَّهُ قَوْلَ الَّتِي تُجَادِلُكَ فِي زَوْجِهَا وَتَشْتَكِي إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ يَسْمَعُ تَحَاوُرَكُمَا إِن َّ اللَّهَ سَمِيعٌ بَصِيرٌ
Artinya:
“Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang memajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Allah mendengar soal jawab antara kalian berdua.” .
Dalam ayat ini Allah menyebut debat dengan istilah tahâwur, artinya berdiskusi/berdialog. Debat pada dasarnya adalah menyampaikan hujah atau yang diduga sebagai hujah oleh dua pihak yang berbeda pendapat. Tujuannya adalah untuk membela pendapatnya, membatalkan hujah lawannya, serta mengalihkannya pada pendapat yang tepat dan benar menurut pandangannya.
Sebagian mufasir memaknai jidal billati hiya ahsan (debat yang terbaik) secara global. Misalnya Ibnu Abbas, beliau menafsirkan jidal billati hiya ahsan sebagai berdebat dengan al-Quran atau dengan kalimat Lâ ilâha illâ Allâh. Contohnya, menurut as-Suyuthi, adalah seperti seruan kepada Allah dengan ayat-ayat-Nya dan seruan pada hujjah-hujjah-Nya.
Pada penafsiran yang lebih terinci, akan didapati perbedaan pendapat di kalangan para mufasir. Akan tetapi, perbedaan itu sesungguhnya dapat dihimpun (jama’) dan diletakkan dalam aspeknya masing-masing. Perbedaan itu dapat dikategorikan menjadi tiga aspek.:
a. Dari segi cara (uslub)
Sebagian mufasir menafsirkan jidal billati hiya ahsan sebagai cara yang lembut (layyin) dan lunak (rifq), bukan dengan cara keras lagi kasar. Inilah penafsiran Ibn Katsir, Al-Baghawi, Al-Baidhawi, dan Al-Khazin.
b. Dari segi topik (fokus) debat
Sebagian mufasir menjelaskan bahwa jidal billati hiya ahsan sebagai debat yang dimaksudkan semata-mata untuk mengungkap kebenaran pemikiran, bukan untuk merendahkan atau menyerang pribadi lawan debat. Sayyid Quthub menerangkan bahwa jidal billati hiya ahsan bukanlah dengan jalan menghinakan (tardzil) atau mencela (taqbih) lawan debat, tetapi berusaha meyakinkan lawan untuk sampai pada kebenaran atau mencela (taqbih) lawan debat, tetapi berusaha meyakinkan lawan untuk sampai pada kebenaran.
c. Dari segi argumentasi
Para mufasir menjelaskan bahwa argumentasi dalam jidal billati hiya ahsan mempunyai dua tujuan sekaligus, yaitu untuk menghancurkan argumentasi lawan (yang batil) dan menegakkan argumentasi kita (yang haq). Imam an-Nawawi al-Jawi menjelaskan bahwa tujuan debat adalah ifhâmuhum wa ilzâmuhum (untuk membuat diam lawan debat dan menetapkan kebenaran pada dirinya). Imam al-Alusi mencontohkan debatnya Nabi Ibrahim a.s. dengan Raja Namrudz.
Seruan dengan jidal billati hiya ahsan tertuju kepada orang yang menentang kebenaran dan cenderung untuk membantah dan mendebat. Di antara teladan cara debat yang diajarkan al-Quran menurut Al-Alusi diantaranya terdapat dalam surat Al Baqarah ayat 258, yaitu:
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِي حَاجَّ إِبْرَاهِيمَ فِي رَبِّهِ أَنْ آَتَاهُ اللَّهُ الْمُلْكَ إِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّيَ الَّذِي يُحْيِي وَيُمِيتُ قَالَ أَنَا أُحْيِي وَأُمِيتُ قَالَ إِبْرَاهِيمُ فَإِنَّ اللَّهَ يَأْتِي بِالشَّمْسِ مِنَ الْمَشْرِقِ فَأْتِ بِهَا مِنَ الْمَغْرِبِ فَبُهِتَ
الَّذِي كَفَرَ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
Artinya:
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang Tuhannya (Allah)? Karena Allah telah memberikan kepada orang itu pemerintahan (kekuasaan), ketika Ibrahim mengatakan, “Tuhanku ialah yang menghidupkan dan mematikan.” Orang itu berkata, “Aku dapat menghidupkan dan mematikan.” Ibrahim berkata, “Allah bisa menerbitkan matahari dari Timur, maka terbitkanlah dari Barat.” Lalu diam dan terdiamlah orang kafir itu.” .

Allah juga berfirman dalam Al-Qur’an surata As-Syu‘ara ayat:23-31:
قَالَ فِرْعَوْنُ وَمَا رَبُّ الْعَالَمِينَ (23) قَالَ رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا إِنْ كُنْتُمْ مُوقِنِينَ (24) قَالَ لِمَنْ حَوْلَهُ أَلَا تَسْتَمِعُونَ 25) قَالَ رَبُّكُمْ وَرَبُّ آَبَائِكُمُ الْأَوَّلِينَ (26) قَالَ إِنَّ رَسُولَكُمُ الَّذِي أُرْسِلَ إِلَيْكُمْ لَمَجْنُونٌ (27) قَالَ رَبُّ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَمَا بَيْنَهُمَا إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُونَ (28) قَالَ لَئِنِ اتَّخَذْتَ إِلَهًا غَيْرِي لَأَجْعَلَنَّكَ مِنَ الْمَسْجُونِينَ (29) قَالَ أَوَلَوْ جِئْتُكَ بِشَيْءٍ مُبِينٍ (30
قَالَ فَأْتِ بِهِ إِنْ كُنْتَ مِنَ الصَّادِقِينَ (31
Artinya:
“Fir’aun bertanya, “Siapa Tuhan alam semesta itu?” Musa menjawab, “Tuhan Pencipta langit dan bumi dan apa saja yang ada pada keduanya (itulah Tuhanmu) jika kamu sekalian (orang-orang) yang mempercayainya.” Berkata Fir’aun kepada orang-orang sekelilingnya, “Apakah kamu tidak mendengarkan?” Musa berkata (pula), “Tuhan kamu dan Tuhan nenek-nenek kamu terdahulu,” Fir’aun berkata, “Sesungguhnya rasulmu yang diutus kepada kalian benar-benar orang gila,” Musa berkata, “Tuhan yang menguasai Timur dan Barat dan apa yang ada diantara keduanya (itulah Tuhanmu) jika kamu mempergunakan akal.” Fir’aun berkata, “Sungguh jika kamu menyembah Tuhan selain aku, benar-benar aku akan menjadikan kamu salah seorang yang dipenjarakan.” Musa berkata, “Datangkanlah sesuatu (keterangan) yang nyata itu, jika kamu termasuk orang-orang yang benar.”.

Jika kita dalami ayat-ayat tersebut, dapat disimpulkan bahwa debat itu haruslah mengandung dua unsur sekaligus, yaitu:
1) Mengungkapkan dan menghancurkan kebatilan dihadapan orang yang tetap dengan kebatilannya dan kuat penentangannya, sekalipun telah jelas kebenaran di antara kebatilan seperti jelasnya matahari di siang bolong. Caranya dengan merobohkan argumen batil, menyerang argumentasi batil, serta menelanjangi kebatilan tersebut dengan argumentasi benar secara mengakar dan tepat.
2) Mengungkapkan dan menetapkan kebenaran sebagai benar, dengan cara membangun kebenaran atas dasar argumen yang rasional atau dalil yang tepat dan syar’i.